TRADISI KALONDO LOPI & KEKUATAN KOMUNAL
Oleh : Ayang Syaifullah
(Filosofi Mori Ulu Kento & Sakaka Angi)
Era Revolusi Industri 4.0 dan Seiring berjalannya Perkembangan Teknologi informasi yang semakin dahsyat, nilai-nilai sosial dasar kehidupan manusia cenderung terdegradasi. Kebersamaan dan hidup Gotong royong mulai pudar. Semua sibuk dan tersublim dalam aktivitas pribadi yang begitu padat. Sudah jarang menengok tetangga yang sakit, jarang menghadiri Acara-acara Perayaan Sosial Budaya dan menghadiri kegiatan massal lainnya. Padahal kebudayaan Kehidupan bermasyarakat di Indonesia dikenal dengan relasi komunal dan interaksi sosialnya yang sangat kuat sekali. Hal ini dapat terlihat dari kehidupan di Desa-desa.
Nilai komunal adalah nilai yang dianut bersama untuk menggugah kesadaran orang untuk merasa, berpikir dan bertindak secara bersama-sama berdasarkan dorongan hati yang satu kemudian berjumpa dengan dorongan hati yang lain, berdasarkan satu tujuan bersama. Berbeda isi kepala boleh saja tetapi bersatu untuk kepentingan bersama adalah kewajiban. Jika akhir-akhir ini kita memperhatikan kecenderungan orang dalam menyikapi persoalan-persoalan bersama yang menyangkut hajat hidup orang banyak, masihkah kita percaya bahwa kita adalah masyarakat yang membangun budaya berdasarkan nilai-nilai komunal itu ???
Baca juga : Peluncuran Kapal Jenis Lambo di Sentra Industri Kapal Tradisional Pantai Sangiang Wera Bima
Dalam Tradisi Kalondo Lopi kami di Desa Sangiang Kec.Wera Kab. Bima NTB, Ikatan Komunal dan Nilai gotong royong Mori Ulu Kento dan Sakaka Angi begitu kuat. Ikatan inilah yang mempersatukan masyarakat untuk mengusung kekuatan solidaritas lokal. Setiap anggota masyarakat, Laki-laki, Perempuan, Tua, Renta, Muda, Anak-anak hadir dan bergembira menyaksikan tradisi agung ini. Semua bekerja berdasarkan porsi masing-masing. Anak-anak muda menjadi garda terdepan dalam bekerja menangani pekerjaan berat, sementara orang-orang tua memberikan arahan, memberikan panduan dalam bekerja, berdasarkan tradisi turun-temurun dan pengalaman mereka, Dua hari sebelum acara, Ibu-ibu dan Perempuan Muda menyiapkan bahan makanan dan kebutuhan lainnya untuk disajikan pada saat acara berlangsung. Pada saat acara berlangsung, Anak-anak kecil berseliweran menonton orang-orang dewasa yang bekerja, mereka bukan sekedar menonton saja, melainkan sedang belajar langsung di lapangan. Beberapa tahun kemudian, merekalah yang mengambil alih tongkat estafet itu dan kami yang sedang bekerja sekarang akan menjadi pemandu bagi mereka dikemudian hari. Kekuatan pengikat dari tradisi ini tentu saja atas asas kepentingan bersama untuk saling tolong-menolong, asas menjaga tradisi kehidupan sosial budaya berdasarkan kesamaan latar belakang dan yang paling utama adalah menjaga harmoni kehidupan.
Entah sudah berapa ratus tahun tradisi Mori Ulu Kento dan Sakaka Angi ini berlangsung ? Yang jelas, jaman boleh berubah, situasi boleh berganti tetapi kami di Sangiang tetap menjaga kebudayaan ini sampai akhir hayat. Ini Identitas kami dan ketika identitas ini hilang maka kami akan terhapus dari peredaran kehidupan.
Pesisir Sangiang Api, 28 Mei 2020
Sumber : https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=10217837995730260&id=1493671458
TULISAN YANG SAMA ADA DI kicknews.today